Monday 4 June 2012


Guru Indonesia Dan Perubahan Kurikulum

 Kata Pengantar
Keresahan Guru menghadapi berbagai perubahan kurikulum yang terlalu sering, merupakan sesuatu yang sangat wajar. Wajar, karena Guru tidak bisa bersikap 'masa bodoh' terhadap perubahan itu. Kurikulum merupakan bagian penting dari tugas seorang Guru. la menjadi arah sekaligus tujuan dari semua proses pembelajaran. Kemana para siswa akan dibawa dan diarahkan, semuanya ada di dalam kurikulum tersebut.

Oleh karena itu terlalu seringnya perubahan kurikulum terjadi, membuat mereka bertanya-tanya, apakah si pengubah paham benar terhadap proses pembelajaran di sekolah "Indonesia'? Apakah dengan kurikulum yang baru, diprediksi akan memperbaiki kualitas pendidikan? Apakah sudah dipikirkan, ketika mengubah kurikulum (semua maupun sebagian), ia harus mengubah 2,7 juta cara berpikir guru? Dianggap sedemikian sederhanakah mengubah 2,7 juta orang itu? Sadarkah bahwa buku-buku kurikulum yang terdahulu pun belum semua sekolah memilikinya? Sadarkah bahwa 'sekedar' mendistribusikan buku-buku kurikulum itupun suatu kesulitan yang tidak mudah dipecahkan dan butuh biaya yang besar? Sadarkah bahwa dengan kurikulum yang baru, berarti biaya baru, distribusi baru, kesulitan baru, mengubah cara berpikir baru, kecemasan baru, kekecewaan baru, yang semua itu menjadi 'barrief baru bagi pendidikan kita?

Sudah seharusnya para perancang dan pengubah kurikulum berpikir dengan spektrum seperti itu, sehingga perubahan demi perubahan bukan hanya sesuatu yang sia-sia. Perubahan yang dilakukan tanpa diiringi dengan perubahan sikap dan perilaku di lapangan, hanyalah sesuatu yang sia-sia belaka. Perlu diperhatikan bahwa kebijakan perubahan harus diyakini dapat dilaksanakan di lapangan.
Kualitas pendidikan kita 'rendah' adalah sjatu bukti bahwa kurikulum tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan. Kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984. Bagaimana hasilnya? Tidak ada studi yang signifikan untuk itu. Kurikulum 1984 diganti lagi dengan kurikulum 1994, bagaimana hasilnya? Kurikulum suplemen bagi kurikulum 1994, bagaimana pula hasilnya? Dari kurikulum 1994 diganti lagi dengan kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Sudah adakah studi yang komprehensif tentang ini? Sudahkah hasil studi ini diketahui oleh para guru, di mana titik lemah dan sisi kekuatan dari kurikulum-kurikulum tersebut? Tanpa hasil yang jelas dan diketahui oleh para guru, maka semua perubahan itu hanya akan membuat kesia-siaan yang panjang.
Jangan berpikir bahwa perubahan itu cukup dilakukan di Jakarta, seakan sudah mewakili Indonesia. Pendidikan di Jakarta 'bukan' sebagai representasi pendidikan Indonesia. Kebijakan Jakarta yang tidak dapat dilaksanakan di daerah lain, itu hanya sebuah kesia-siaan. Yang dibutuhkan saat ini dan kedepan adalah konsistensi sikap dan kebijakan pemerintah dengan konsistensi pelaksanaannya di lapangan secara terukur, dengan memperhatikan berbagai standar yang ditetapkan untuk mendukung terlaksananya proses pendidikan secara baik. Konsistensi tersebut diharapkan dapat secara bertahap memperbaiki kinerja guru yang pada akhirnya dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Etos kerja para guru dan insan pendidikan pada umumnya kurang menggembirakan, mengingat imbalan yang kurang menarik, sehingga rata-rata kehidupan mereka dalam kondisi yang kurang sejahtera. Ketimpangan sosial ekonomi antara guru dan pegawai lainnya, menjadikan bidang pendidikan bukan pilihan utama untuk bekerja. Banyak di antara masyarakat yang tidak menginginkan anaknya menjadi guru, kecuali terpaksa. Ini sebuah kondisi yang tidak diinginkan oleh insan pendidik. Terjadi ketidak-adilan antara profesi dan kesejahteraan para pegawainya. Jika penghasilan rata-rata guru masih di bawah rata-rata 'tukang bakso dorongan' di perkotaan, sungguh hal ini keadaan yang sangat memilukan. Namun itu sebuah realitas yang dialami para guru Indonesia pada umumnya. Untuk menjadi guru yang 'cerdas', ada sebuah track yang harus dilalui secara benar oleh setiap guru, dengan prakondisi yang disediakan oleh pengambil kebijakan. Prakondisi tersebut seperti kebijakan perbaikan kesejahteraan guru, sarana dan kelengkapan kerja, sarana pendukung pendidikan di setiap sekolah, kurikulum yang mudah dilaksanakan guru. Setelah prakondisi ini tersedia, maka track yang harus dilewati para guru adalah kesungguhan untuk bekerja keras, tekun, dan ulet, yang berorientasi pada proses dan hasil kerja berkualitas. Parameter kualitas kerja guru harus dipahami setiap individu guru, sehingga mereka tahu persis apakah dirinya tergolong yang berkualitas atau tidak.
Budaya 'malu' bekerja jelek harus ditumbuhkan di kalangan mereka, sehingga kualitas kerja menjadi target setiap guru dalam melaksanakan tugas. Guru yang bekerja di bawah target minimal harus mau berusaha dan bekerja lebih keras dibandingkan guru lainnya. Kebiasaan seperti ini penting agar semua guru mengacu pada standar kerja minimal yang berkualitas. Kondisi ini yang belum lazim di negeri kita. Apapun yang dilakukan guru selama ini dianggap sudah cukup, padahal mungkin di bawah yang seharusnya dilakukan. Inilah kesalahan perilaku guru dalam mendidik dan mengajar di sekolah selama ini, sehingga pendidikan kita seperti yang kita saksikan sekarang. Memang, fenomena itu bukan maunya guru, tetapi faktor keadaan yang memaksa guru berperilaku seperti itu.
Buku ini saya tulis untuk berbagi pengalaman dengan teman-teman guru Indonesia. Tidak ada maksud mengkritik guru, tetapi mengemukakan fakta yang sama-sama kita alami. Ketika guru mengalami situasi yang kurang menyenangkan, sebagai pendidik yang sampai saat ini masih aktif bergelut di lapangan, sayapun merasakan apa yang oleh teman-teman guru rasakan. Dan terus mencoba sharing untuk memperbaiki keadaan itu.
Saya ingin menyampaikan terimakasih kepada teman-teman guru Indonesia, terlebih yang sering dijadikan responden dalam berbagai penelitian pendidikan, dengan berbagai informasi itu pula, tulisan ini disusun. Mudah-mudahan ini dapat memenuhi harapan untuk memberikan sumbang saran pemikiran dalam memperbaiki pendidikan dan proses pembelajaran di negeri tercinta ini


Wassalam, Penulis
Bedjo Sujanto

No comments:

Post a Comment