Guru
Indonesia Dan Perubahan Kurikulum
Kata
Pengantar
Keresahan Guru menghadapi berbagai
perubahan kurikulum yang terlalu sering, merupakan sesuatu yang sangat wajar.
Wajar, karena Guru tidak bisa bersikap 'masa bodoh' terhadap perubahan itu.
Kurikulum merupakan bagian penting dari tugas seorang Guru. la menjadi arah
sekaligus tujuan dari semua proses pembelajaran. Kemana para siswa akan dibawa
dan diarahkan, semuanya ada di dalam kurikulum tersebut.
Oleh karena itu terlalu seringnya
perubahan kurikulum terjadi, membuat mereka bertanya-tanya, apakah si pengubah
paham benar terhadap proses pembelajaran di sekolah "Indonesia'? Apakah
dengan kurikulum yang baru, diprediksi akan memperbaiki kualitas pendidikan?
Apakah sudah dipikirkan, ketika mengubah kurikulum (semua maupun sebagian), ia
harus mengubah 2,7 juta cara berpikir guru? Dianggap sedemikian sederhanakah
mengubah 2,7 juta orang itu? Sadarkah bahwa buku-buku kurikulum yang terdahulu
pun belum semua sekolah memilikinya? Sadarkah bahwa 'sekedar' mendistribusikan
buku-buku kurikulum itupun suatu kesulitan yang tidak mudah dipecahkan dan
butuh biaya yang besar? Sadarkah bahwa dengan kurikulum yang baru, berarti
biaya baru, distribusi baru, kesulitan baru, mengubah cara berpikir baru,
kecemasan baru, kekecewaan baru, yang semua itu menjadi 'barrief baru bagi
pendidikan kita?
Sudah seharusnya para perancang dan
pengubah kurikulum berpikir dengan spektrum seperti itu, sehingga perubahan
demi perubahan bukan hanya sesuatu yang sia-sia. Perubahan yang dilakukan tanpa
diiringi dengan perubahan sikap dan perilaku di lapangan, hanyalah sesuatu yang
sia-sia belaka. Perlu diperhatikan bahwa kebijakan perubahan harus diyakini
dapat dilaksanakan di lapangan.
Kualitas pendidikan kita 'rendah'
adalah sjatu bukti bahwa kurikulum tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan.
Kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984. Bagaimana hasilnya? Tidak ada
studi yang signifikan untuk itu. Kurikulum 1984 diganti lagi dengan kurikulum
1994, bagaimana hasilnya? Kurikulum suplemen bagi kurikulum 1994, bagaimana
pula hasilnya? Dari kurikulum 1994 diganti lagi dengan kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) 2004. Sudah adakah studi yang komprehensif tentang ini?
Sudahkah hasil studi ini diketahui oleh para guru, di mana titik lemah dan sisi
kekuatan dari kurikulum-kurikulum tersebut? Tanpa hasil yang jelas dan
diketahui oleh para guru, maka semua perubahan itu hanya akan membuat
kesia-siaan yang panjang.
Jangan berpikir bahwa perubahan itu
cukup dilakukan di Jakarta, seakan sudah mewakili Indonesia. Pendidikan di Jakarta
'bukan' sebagai representasi pendidikan Indonesia. Kebijakan Jakarta yang tidak
dapat dilaksanakan di daerah lain, itu hanya sebuah kesia-siaan. Yang
dibutuhkan saat ini dan kedepan adalah konsistensi sikap dan kebijakan
pemerintah dengan konsistensi pelaksanaannya di lapangan secara terukur, dengan
memperhatikan berbagai standar yang ditetapkan untuk mendukung terlaksananya
proses pendidikan secara baik. Konsistensi tersebut diharapkan dapat secara
bertahap memperbaiki kinerja guru yang pada akhirnya dapat memperbaiki kualitas
pendidikan. Etos kerja para guru dan insan pendidikan pada umumnya kurang
menggembirakan, mengingat imbalan yang kurang menarik, sehingga rata-rata
kehidupan mereka dalam kondisi yang kurang sejahtera. Ketimpangan sosial ekonomi
antara guru dan pegawai lainnya, menjadikan bidang pendidikan bukan pilihan
utama untuk bekerja. Banyak di antara masyarakat yang tidak menginginkan
anaknya menjadi guru, kecuali terpaksa. Ini sebuah kondisi yang tidak
diinginkan oleh insan pendidik. Terjadi ketidak-adilan antara profesi dan
kesejahteraan para pegawainya. Jika penghasilan rata-rata guru masih di bawah
rata-rata 'tukang bakso dorongan' di perkotaan, sungguh hal ini keadaan yang
sangat memilukan. Namun itu sebuah realitas yang dialami para guru Indonesia
pada umumnya. Untuk menjadi guru yang 'cerdas', ada sebuah track yang harus
dilalui secara benar oleh setiap guru, dengan prakondisi yang disediakan oleh
pengambil kebijakan. Prakondisi tersebut seperti kebijakan perbaikan
kesejahteraan guru, sarana dan kelengkapan kerja, sarana pendukung pendidikan
di setiap sekolah, kurikulum yang mudah dilaksanakan guru. Setelah prakondisi
ini tersedia, maka track yang harus dilewati para guru adalah kesungguhan untuk
bekerja keras, tekun, dan ulet, yang berorientasi pada proses dan hasil kerja
berkualitas. Parameter kualitas kerja guru harus dipahami setiap individu guru,
sehingga mereka tahu persis apakah dirinya tergolong yang berkualitas atau
tidak.
Budaya 'malu' bekerja jelek harus
ditumbuhkan di kalangan mereka, sehingga kualitas kerja menjadi target setiap
guru dalam melaksanakan tugas. Guru yang bekerja di bawah target minimal harus
mau berusaha dan bekerja lebih keras dibandingkan guru lainnya. Kebiasaan
seperti ini penting agar semua guru mengacu pada standar kerja minimal yang
berkualitas. Kondisi ini yang belum lazim di negeri kita. Apapun yang dilakukan
guru selama ini dianggap sudah cukup, padahal mungkin di bawah yang seharusnya
dilakukan. Inilah kesalahan perilaku guru dalam mendidik dan mengajar di
sekolah selama ini, sehingga pendidikan kita seperti yang kita saksikan
sekarang. Memang, fenomena itu bukan maunya guru, tetapi faktor keadaan yang
memaksa guru berperilaku seperti itu.
Buku ini saya tulis untuk berbagi
pengalaman dengan teman-teman guru Indonesia. Tidak ada maksud mengkritik guru,
tetapi mengemukakan fakta yang sama-sama kita alami. Ketika guru mengalami
situasi yang kurang menyenangkan, sebagai pendidik yang sampai saat ini masih
aktif bergelut di lapangan, sayapun merasakan apa yang oleh teman-teman guru
rasakan. Dan terus mencoba sharing untuk memperbaiki keadaan itu.
Saya ingin menyampaikan terimakasih
kepada teman-teman guru Indonesia, terlebih yang sering dijadikan responden
dalam berbagai penelitian pendidikan, dengan berbagai informasi itu pula,
tulisan ini disusun. Mudah-mudahan ini dapat memenuhi harapan untuk memberikan
sumbang saran pemikiran dalam memperbaiki pendidikan dan proses pembelajaran di
negeri tercinta ini
Wassalam, Penulis
Wassalam, Penulis
Bedjo Sujanto
No comments:
Post a Comment