eric
jekson blog
|
|
|
Monday, 4 June 2012
Memahami
Anak Cerdas/Berbakat Istimewa (CI+BI)
Oleh: Amril Muhammad, SE., M.Pd.
Sekjend. Asosiasi CI+BI Nasional
Sekretaris Dewan Pembina Cugenang Gifted School
Dosen Jurusan Manajemen Pendidikan FIP UNJ
PENDAHULUAN
Undang-undang
no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 menyatakan
bahwa “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus”. Perlunya perhatian khusus kepada anak CI+BI
merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik secara
utuh dan optimal.
Pengembangan
potensi tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan
pembinaan yang sistematis terhadap siswa yang berpotensi cerdas istimewa, bangsa
Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia terbaik.
Strategi
pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan perlakuan
standar/rata-rata kepada semua siswa sehingga kurang memperhatikan perbedaan
antar siswa dalam kecakapan, minat, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini,
keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi
belajar siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu
dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar potensi yang dimiliki
menjadi prestasi yang unggul.
Perhatian
khusus tersebut tidak dimaksudkan untuk melakukan diskriminasi, tetapi
semata-mata untuk memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi siswa. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus untuk siswa CI+BI,
diharapkan potensi-potensi yang selama ini belum berkembang secara optimal,
akan tumbuh dan mampu menunjukkan kinerja terbaik.
Diperkirakan
terdapat sekitar 2,2% anak usia sekolah memiliki kualifikasi CI+BI. Menurut
data BPS tahun 2006 terdapat 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya terdapat
sekitar 1.059.796 anak CI+BI di Indonesia. Berdasarkan data Asossiasi CI+BI
tahun 2008/9, Jumlah siswa CI+BI yang sudah terlayani di sekolah akselerasi
masih sangat kecil, yaitu 9551 orang yang berarti baru 0,9% siswa CI+BI yang
terlayani. Ditinjau dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311
sekolah yang memiliki program layanan bagi anak CI+BI. Itupun baru terbatas
program yang berbentuk akselerasi. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah,
baru ada 7 madrasah yang menyelenggarakan program aksel. Ini berarti masih
sangat rendah sekali jumlah sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan
kepada siswa CI+BI, serta keterbatasan dari ragam pelayanan.
KARAKTERISTIK
ANAK CI+BI
Anak-anak gifted bukanlah
anak dengan populasi seragam, ia mempunyai banyak variasi, baik variasi pola
tumbuh kembangnya, variasi personalitasnya, maupun variasi keberbakatannya.
Semakin tinggi perkembangan inteligensianya, maka akan terjadi deskrepansi
(perbedaan) di berbagai domain perkembangan. Deskrepansi ini bukan saja akan
menyangkut perkembangan dalam individu, tetapi juga akan menyangkut
perkembangan antar individu. Kondisi inilah yang sering membawa berbagai
kesulitan pada anak-anak gifted dan sering salah
terinterpretasi (Silverman, 2004).
Sebagian
besar anak gifted akan mengalami perkembangan motorik kasar
yang melebihi kapasitas normal, namun mengalami ketertinggalan perkembangan
motorik halus. Saat ia masuk ke sekolah dasar, umumnya ia mengalami kesulitan
menulis dengan baik. Banyak dari anak-anak ini diberi hukuman menulis
berlembar-lembar yang justru tidak menyelesaikan masalahnya bahkan akan
memperberat masalah yang dideritanya9. Anak-anakgifted adalah
anak-anak yang sangat perfeksionis, sehingga perkembangan kognitif
yang luar biasa tidak bisa ia salurkan melalui bentuk tulisan. Hal ini selain
dapat menyebabkan kefrustrasian dan juga dapat menyebabkan kemerosotan rasa
percaya diri, konsep diri yang kurang sehat serta anjlognya motivasi untuk
berprestasi.
Deskrepansi
antara perkembangan kognitif dan ketertinggalan motorik halus, ditambah
karakteristik perfeksionisnya bisa menimbulkan masalah yang cukup serius
baginya, terutama kefrustrasian dan munculnya konsep diri negatip, ia merasa
sebagai anak yang bodoh tidak bisa menulis. Namun seringkali pendeteksian tidak
diarahkan pada apa akar permasalahan yang sebenarnya, dan penanggulangan hanya
ditujukan pada masalah perilakunya yang dianggap sebagai perilaku membangkang
Anak
cerdas (brigth/higt achiever) berbeda dengan dengan anak CI+BI (gifted)
dan anak-anak cerdas tidak bisa dimaksukkan ke dalam kelompokgifted karena
mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Sekalipun mereka juga memiliki
tingkat intelegensi yang tinggi, namun kemampuan mereka dalam analisis,
abstraksi dan kreativitas tidak seluar biasa anak-anak CI+BI. Berbagai
perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
CERDAS
(Bright/High Achiever)
|
CERDAS/BERBAKAT ISTIMEWA
(Gifted – Talented)
|
|
Menjawab pertanyaan dengan benar
Berminat dengan sesuatu
Menunjukkan perhatian
Punya gagasan yang bagus, populer
Bekerja keras untuk sukses ujian
Menjawab soal sesuai dengan yang ditanyakan
Di puncak daftar siswa berprestasi
Suka linearitas
Pemerhati yang baik
Mendengarkan penuh dengan minar
6-8 kali pengulangan untuk menguasai materi
Memahami gagasan orang lain dengan baik
Senang berteman dengan teman sebaya
Menarik kesimpulan
Menyelesaikan tugas yang diberikan
Pintar menyalin, meniru
Suka sekolah
|
|
(Sumber: CGIS-Net
Assessment systems, 2008)
IDENTIFIKASI
ANAK CI+BI
Dalam
mengidentifikasi peserta didik cerdas istimewa menggunakan pendekatan
multidimensional. Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan
sekedar intelligensi). Batasan yang digunakan adalah peserta didik yang
memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 130 ke
atas dengan pengukuran menggunakan skala Wechsler (Pada alat tes yang lain =
rerata skor IQ ditambah dua standar deviasi), dimensi kreativitas tinggi
(ditetapkan skor CQ dalam nilai baku tinggi atau plus satu standar deviasi di
atas rerata) dan pengikatan diri (Task commitment) terhadap tugas baik
(ditetapkan skor TC dalam kategori nilai baku baik, atau plus satu
standar deviasi di atas rerata). Tiga komponen ini dikenal sebagai
Konsepsi Tiga Cincin dari Renzulli (1978, 2005) yang banyak digunakan dalam
menyusun pendidikan untuk anak cerdas istimewa, dan merupakan teori yang
mendasari pengembangan pendidikan anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (Gifted
and Talented children).
Model
lain adalah The Triadich dari Renzulli-Mönks yang merupakan pengembangan dari
Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli. Model Renzulli-Mönks ini
disebut sebagai model multifaktor yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan
dari Renzulli. Dalam model multifaktornya Mönks mengatakan bahwa potensi
kecerdasan istimewa (giftedness) yang dikemukakan oleh Renzulli itu
tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan yang baik dari
sekolah, keluarga, dan lingkungan di mana si anak tinggal (Mönks dan Ypenburg,
1995).
Dengan
model multifaktor maka pendidikan anak cerdas istimewa tidak dapat dilepaskan
dari peran orang tua dan lingkungan dalam menanggapi gejala-gejala
berkecerdasan istimewa (giftedness), toleran terhadap berbagai
karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan
tumbuh kembangnya yang menjadi penyulit baginya, serta dalam mengupayakan
layanan pendidikannya. Lebih lanjut model pendekatan ini menuntut keterlibatan
pihak orang tua dalam pengasuhan di rumah agar berpartisipasi secara penuh dan
simultan dengan layanan pendidikan terhadap anak di sekolah.
Model
Triadich Renzulli-Mönks menuntut sistem pendidikan, keluarga, dan lingkungan
untuk dapat memberikan dukungan yang baik dan mengupayakan agar anak didik
dapat mencapai prestasi istimewanya, sehingga diharapkan tidak akan terjadi
adanya kondisi berprestasi rendah (underachiever) pada seorang anak
berkecerdasan istimewa. Dengan model pendekatan teori ini juga, maka anak-anak
yang mempunyai ciri-ciri berkecerdasan istimewa (dengan ciri-ciri tumbuh
kembang, ciri-ciri personalitas, dan ciri-ciri intelektual) sekalipun underachiever masih
dapat terdeteksi sebagai anak berkecerdasan istimewa yang memerlukan dukungan
dari sekolah, keluarga dan lingkungan agar ia dapat mencapai prestasi yang
istimewa sesuai potensinya.
Model
pendekatan multifaktor lebih fleksibel dalam melakukan deteksi dan diagnosis
anak cerdas istimewa, terutama dalam menghadapi anak-anak dengan kondisi tumbuh
kembang yang mengalami disinkronitas yang besar dan penting, berkesulitan dan
bergangguan belajar (learning difficulties dan learning disabilities),
serta yang mengalami komorbiditas dengan gangguan lainnya (gangguan emosi dan
perilaku yang patologis). Fleksibilitas dalam melakukan deteksi yang dimaksud
adalah dimungkinkannya penggunaan daftar dan alat-alat ukur asesmen yang lebih
beragam (Mönks dan Pflüger, 2005).
Heller
(2004) mengembangkan model multifaktor yang pada dasarnya merupakan
pengembangan dari Triadic Interdependence model Mönks
serta Multiple Intelligences dari Howard Gardner.
Menurut Heller konsep keberbakatan dapat ditinjau berdasarkan empat
dimensi multifaktor yang saling terkait satu sama lain: (1) faktor
talenta (talent) yang relatif mandiri (relatif mandiri); (2) faktor
kinerja (performance); (3) faktor kepribadian; dan (4) faktor
lingkungan; Dua faktor terakhir menjadi perantara untuk terjadinya transisi
dari talenta menjadi kinerja. Secara grafis, model tersebut dapat dilihat
pada gambar di halaman berikut.
Faktor
bakat (talent) sebagai potensi yang ada dalam individu dapat meramalkan
aktualisasi kinerja (performance) dalam area yang spesifik. Bakat
ini mencakup tujuh area yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu: kemampuan
intelektual, kemampuan kreatif, kompetensi sosial, kecerdasan praktis,
kemampuan artistik, musikalitas, dan keterampilan psikomotor. Sementara itu
Faktor kinerja (performance) meliputi delapan area kinerja, yaitu:
matematika, ilmu pengetahuan alam, teknologi, komputer, seni (musik, lukis),
bahasa, olah raga, serta relasi sosial.
Bakat (talent)
dapat berkembang menjadi kinerja dengan dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu: (1) karakteristik kepribadian yang mencakup: cara mengatasi
stres, motivasi berprestasi, strategi belajar dan strategi kerja,
harapan-harapan akan pengendalian, harapan akan keberhasilan atau kegagalan,
dan kehausan akan pengetahuan; serta (2) kondisi-kondisi lingkungan yang
mencakup: iklim keluarga, jumlah saudara dan kedudukan dalam keluarga, tingkat
pendidikan orang tua, stimulasi lingkungan rumah, tuntutan dan kinerja yang ada
di rumah, lingkungan belajar, kualitas pembelajaran, iklim kelas, dan
peristiwa-peristiwa kritis.
Di
dalam proses terwujudnya bakat menjadi kinerja, bakat juga dapat
mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya bakat
yang ada pada anak dapat mempengaruhi bagaimana orangtua atau guru
memperlakukannya. Di dalam proses terwujudnya kinerja, bakat juga
dapat mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya bakat
yang ada pada anak dapat mempengaruhi bagaimana anak tersebut menjadi semakin
ulet dan tekun atau bakat yang dimiliki juga akan berpengaruh terhadap sikap
orangtua atau guru terhadap anak sehingga berpengaruh terhadap cara
memperlakukan si anak.
Proses Identifikasi
merupakan salah satu tahap awal yang merupakan kunci utama yang penting dalam
keberhasilan suatu program layanan pendidikan khusus bagi siswa CI+BI. Dalam
proses rekrutmen dan seleksi dipengaruhi oleh model layanan pendidikan yang
diberikan bagi peserta didik cerdas istimewa ada beberapa prinsip identifikasi
yang perlu diperhatikan adalah (Klein, 2006; Porter, 2005) yaitu: Cerdas
Istimewa merupakan suatu fenomena yang kompleks sehingga identifikasi hendaknya
dilakukan secara multidimensional dengan:
1.
Menggunakan sejumlah cara pengukuran untuk melihat variasi dari
kemampuan yang dimiliki oleh siswa cerdas istimewa pada usia yang berbeda.
2.
Mengukur bakat-bakat khusus yang dimiliki untuk dijadikan acuan
penyusunan program belajar bagi siswa cerdas istimewa.
3.
Tidak hanya memperhatikan hal-ahl yang sudah teraktualisasi,
namun juga mengidentifikasi potensi.
4.
Identifikasi tidak hanya untuk mengukur aspek kognitif, namun
juga motivasi, minat, perkembangan sosial emosional serta aspek non kognitif
lainnya.
PERMASALAHAN
ANAK CI+BI
Gejala-gejala
lompatan perkembangan anak CI+BI merupakan faktor kuat yang memberi
dampak psikologis dalam perilakunya, baik positif maupun negatif. Dengan
memahami karakteristik anak, orang tua, guru, masyarakat dapat mengantisipasi
hal-hal di luar dugaan (misalnya marah, agresif) dan bisa menduga penyebabnya.
Perilaku negatif tersebut, mungkin menjadi sumber masalah emosional anak CI+BI.
Gambaran perilaku negatif dan positif anak CI+BI, dapat dilihat pada tabel
berikut:
Karakteristik
|
Perilaku Positif
|
Perilaku negatif
|
Sangat
waspada
|
Cepat
mengetahui ada masalah
|
Senang
mengoreksi orang dewasa
|
Selera
humor tinggi
|
Mampu
menertawakan diri sendiri
|
Membuat
lelucon dengan mengorbankan orang lain
|
Mampu
memahami keterkaitan satu dengan yang lain
|
Mampu
memecahkan masalah sosial sendirian
|
Ikut
campur urusan orang lain
|
Dorongan
berprestasi yang kuat
|
Mengerjakan
tugas sekolah dengan baik
|
Arogan,
egois, tidak sabaran dengan kelambanan orang lain
|
Kemampuan
verbal yang tinggi
|
Diplomasi
persuasif dengan tata bahasa yang tepat
|
Memanipulasi
orang lain
|
Individualistik,
menantang stabilitas
|
Percaya
diri tinggi
|
Hanya
sedikit punya teman dekat, kuat dengan keyakinan diri sendiri
|
Motivasi
diri yang kuat, merasa tidak perlu bantuan orang lain
|
Hanya
perlu sedikit arahan dan bantuan orang lain
|
Agresif
berlebihan, menantang otoritas
|
Kemampuan
membaca sangat tinggi
|
Mengingat
dan menguasai materi belajar dengan mudah
|
Gampang
bosan, tidak suka hafalan
|
Sangat
senang membaca
|
Membaca
berbagai jenis buku, memonopoli perpustakaan
|
Mengabaikan
orang lain
|
Kaya
perbendaharaan kata
|
Mengkomunikasikan
gagasan dengan lancar
|
Suka
pamer pengetahuan
|
Simpanan
informasi yang sangat banyak
|
Cepat
dalam menjawab pertanyaan
|
Memonopoli
diskusi
|
Rentang
perhatian yang panjang
|
Mengerjakan
tugas sampai selesai
|
Tidak
suka kerja terbatas waktu, mengatur sendiri waktu penyelesaian
|
Minat
beragam, rasa penasaran yang tinggi
|
Banyak
bertanya, senang dengan gagasan baru
|
Kurang
dapat membuat pembicaraan yang lintas disiplin
|
Belajar/bekerja
sendiri
|
Menciptakan
gaya sendiri dengan melakukan sesuatu
|
Menolak
bekerjasama dengan orang lain yang dianggap tidak sejalan
|
Kepustakaan
Gary A. Davis, Sylvia B. Rimm Education
of the Gifted and Talented, New York: Allyn & Bacon, 1998
Don Ambrose,Tracy Cross Morality, Ethics, and Gifted Minds, Springer, 2009
Berbagai sumber-sumber lain
Don Ambrose,Tracy Cross Morality, Ethics, and Gifted Minds, Springer, 2009
Berbagai sumber-sumber lain
Leadership Strategy in Developing Professional
Human Resource of Education
Dr. Hj. Rugaiyah, M.Pd
(Ketua Jurusan MP FIP UNJ)
Abstract
Strategies
of leadership in developing professional education resources are all efforts
made in order to provide guidance to the staff in this case focused on
educators (teachers). Developing a professional teacher of teachers to develop
activities to teachers who have the competence and qualifications in carrying
out their duties and functions. Strategy leader in developing professional
teachers
begins with understanding the characteristics of the present in teachers,
viewed in the quadrant of the ability and motivation, the second step to
develop teachers' ability to conduct mapping of visits from the awareness and
competence, the three-step analysis based teacher training needs of individual
potential, The fourth step take into account the human system, system policies
and structural systems, three factors are interrelated and combine in a single
slice of the development of human resources professionals
I. PENDAHULUAN
Menyikapi
perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat,
maka perlu diimbangi dengan SDM yang profesional. Dalam institusi pendidikan
yang dimaksud dengan Sumber Daya Manusia Pendidikan Profesional adalah seluruh
personal yang terlibat dalam kegiatan pendidikan dan melakukan pekerjaannya
secara profesional, siapakah personal pendidikan itu? Personal pendidikan
adalah orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan yang meliputi guru,
kepala sekolah, tata usaha, tenaga administrasi, pustakawan dan laboran .
Mereka dapat dikatakan sebagai SDM pendidikan profesional bila mereka telah
memenuhi kriteria profesional; SDM profesional adalah personal yang dalam
melaksanakan pekerjaannya minimal memiliki tiga persyaratan: expertice (keahlian), responsbility (tanggung
jawab) dan corporateness (memiliki kesejawatan). Ketiga syarat
tersebut tersirat di dalam persyaratan kompetensi dan kualifikasi yang harus di
miliki. Bila digali lebih dalam, beberapa karakteristik yang mencirikan
profesional yaitu:
- Melayani masyarakat, karir sepanjang hayat
- Memerlukan ilmu dan bidang keterampilan tertentu
- Menggunakan hasil penelitian
- Memerlukan pelatihan khusus dan waktu panjang
- Terkendali berdasarkan lisensi baku
- Otonom dalam membuat keputusan
- Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil
- Komitmen terhadap jabatan dan klien
- Mempunyai kode etik
- Dipercaya masyarakat
- Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi
Mengenai
kualifikasi dan kompetensi SDM pendidikan professional secara lebih terperinsi
tersurat di dalam undang-undang dan peraturan yang diterbitkan sejak tahun 2003
dengan penerbitan undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan
Nasional, undang-undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen serta
peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Dalam tulisan ini yang menjadi
kajian tenaga kependidikan difokuskan pada tenaga pendidik (guru). Yang
dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal pendidikan dasar
dan menengah (BAB 1 Pasal 1 undang-undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan
dosen). Untuk membina guru profesional strategi apa yang dilakukan dengan
melihat berbagai macam karakteristik sumber daya guru dengan gambaran sebagai berikut:
- Bila seorang guru tidak tahu apa yang harus dikerjakan
- Bila seorang guru tidak tahu bagaimana cara mengerjakan
- Bila seorang guru tidak mau mengerjakannya
- Bila seorang guru tahu mengerjakannya, berkompetensi, dan memiliki motivasi
- Bila guru sudah mengerjakannya dan memenuhi standar
Gambaran
di atas mengharuskan adanya tindakan kepemimpinan yang harus dilakukan dengan
mengidentifikasi berbagai keadaan guru yang dihadapi. Untuk menghadapi
keanekaragaman karakteristik guru, maka tindakan apa yang patut untuk
dilakukan? tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai strategi kepemimpinan.
Hal-hal apa saja yang harus diidentifikasi dalam rangka melakukan pembinaan
guru? Setelah itu bagaimana melakukan pemetaan kapabilitas guru? Bagaiamana
menganalisis kebutuhan guru berbasis potensi individu? Dan faktor-faktor apa
saja yang harus diperhatikan dalam membangun SDM profesional?
II. PEMBAHASAN
Staregi
kepemimpinan yang bagaimana yang dapat membangun SDM pendidikan professional?
Sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu pengertian strategi dan kepemimpinan
satu persatu. Strategi diartikan sebagai pendekatan secara keseluruhan yang
berkaitan dengan pelaksanaan ide perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas
dalam kurun masa tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim
kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan
prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan,
dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif. Sedangkan
kepemimpinan adalah proses menggerakkan individu atau kelompok kepada tujuan
yang ditempuh dengan cara tidak memaksa (John P.Kotter), kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam upaya menuju
pencapaian tujuan dalam suatu situasi yang ada (Hersey dan Blanchard) sedangkan
(Koonz, O’Donnel, Weirich) menjelaskan kepemimpinan sebagai seni atau proses
mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja keras secara sukarela untuk mencapai
tujuan kelompok. Sehingga dapat disimpulkan yang dimaksud strategi kepemimpinan
adalah totalitas yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam upaya melakukan
aktivitas yang berkaitan dengan peningkatan yang bersifat
kontinu.
Berkaitan
dengan membangun SDM pendidikan profesional, strategi apa saja yang dilakukan
oleh pemimpin untuk mencipta sebuah desain bangunan yang dicita-citakan sesuai
ideasinya? Membangun SDM profesional merupakan pekerjaan yang cukup menjanjikan
dalam arti banyak menghadapi berbabagai keragaman dan keunikan baik yang
bersifat kemanusiaan maupun material yang harus dipersiapkan.
Tulisan
ini membahas desain strategi kepemimpinan yang dapat dilakukan oleh para
pemimpin pendidikan, Langkah pertama dimulai dengan
mengidentifikasi kondisi SDM yang ada di lembaga, Kedua dengan
melakukan pemetaan kapabilitas,Ketiga dengan menganalisis
kebutuhan manusia berbasis potensi inividu, langkah kempat memperhatikan
faktor-faktor yang saling berkait dalam membina SDM pendidikan professional.
Langkah
I : Mengidentifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)
Strategi
pertama pemimpin mengenal atau mengidentifikasi SDM, dalam hal ini adalah guru
diawali dengan melihat sejauh manakah motivasi dan kemampuan guru yang
ada di lembaga yang kita pimpin. untuk
mengidentifikasi posisi motivasi dan kemampuan tersebut
dapat kita lihat pada jendela berikut:
Gambar
1. Kuadran Motivasi dan Kemampuan Guru
(Modifikasi
penulis, sumber: Atmosoeprapto, Kisdarto. Produktivitas
Aktualisasi Budaya Perusahaan)
Kondisi
guru yang diideasikan berada pada kuadran empat yang menggambarkan kondisi guru
yang produktif dan profesional yang ditandai dengan memiliki kemampuan yang
tingggi dan memiliki motivasi kerja yang tinggi, tetapi ada pula gambaran guru
pada jendela pertama menggambarkan kondisi guru dalam sebuah kondisi yang
marjin, maksudnya memiliki kemampuan kerja tinggi tetapi memiliki motivasi
rendah, yang disebut dengan dilema idealnya pada kondisi ini guru didorong
untuk bergeser ke kuadran empat yaitu menjadi tenaga pendidikan yang produktif
dan profesional, apabila kondisi dilema dibiarkan akan semakin jelek dan turun
pada kuadran dua yang menggambarakan kondisi motivasi rendah dan kemampuan
rendah yang disebut dengan istilah “deadwood” apabila kondisi ini
dibiarkan maka akan segera mengalami “demage” (kiamat),
minimal kondisi deedwood harus digeser ke kiri yaitu
jendela tiga (perlu latihan) pada kuadran ini kondisi guru memiliki kemampuan
rendah tetapi memiliki motivasi tinggi. Guru yang berada pada kuadran tiga
memiliki peluang besar untuk diarahkan bergeser ke kuadran empat yaitu pada kondisi
guru produktif dan professional.
Mengapa
terjadi posisi pada masing-masing kuadran yang terkait dengan pengembangan SDM
Profesional? untuk mengidentifikasi hal tersebut, marilah kita membuka tirai
penyebabnya. Pada kondisi dilema, guru tidak memahami akan kejelasan visi, misi
dan tujuan dari sebuah lembaga, pada kondisi deadwood, guru yang
direkrut mismanajemen (salah kelola) sehingga terjadi cloude (baca:
suasana gelap), di mana kegelapannya (kesalahannya)? Bila diruntut dari awal
dimulai dari rekruitmen, seleksi dan penempatan, untuk menembus atau
membersihkan kegelapan tersebut maka perlu dilakukan pelatihan sebagai
instrumen untuk menuju guru produktif dan profesional.
Selanjutnya
apakah pelatihan tersebut dapat menjadi jaminan untuk menuju kepada kuadran
empat yaitu menjadikan guru produktif dan perofesional? hal ini belum menjamin,
untuk itu diperlukan mapping atau pemetaan.
Langah
II: Melakukan pemetaan kapabilitas guru
Strategi
kepemimpinan dalam pemetaan ini, ditinjau dari aspek conscious
and competence (kesadaran dan kompetens) Normal yang
diperlihatkan pada gambar berikut:
Gambar
2. Kuadran pemetaan kapabilitas guru (competent and concious)
Sumber:
Modifikasi Penulis
Pemetaan
kapabilitas digambarkan dari perpaduan antara kompetensi dan kesadaran
guru dalam mengembangakan diri, bertolak dari kuadran dua menggambarkan guru
memiliki kesadaran dan kompetensi yang rendah, hal ini tampak pada kondisi guru
yang tidak acuh dan tidak memiliki minat terhadap pengembangan diri, pada
kuadran tiga menggambarkan guru yang memiliki kesadaran tinggi dan
kompetensinya yang rendah pada kondisi ini guru terdorong untuk belajar dan
berlatih karena sadar akan rendahnya kompetensi yang dimiliki. Pada kuadran
empat menggambarkan guru yang memiliki kesadaran tinggi dan kompensi yang
tinggi, tetapi merasa penting untuk selalu menambah pengalaman dan merasa butuh
akan pelatihan untuk selalu meningkatkan diri. Pada kuadran satu guru memiliki
kompetensi tinggi akan tetapi kesadarannya rendah, maka perlu memberi kejelasan
arah yang harus ditempuh.
Langkah
III: Menganalisis kebutuhan Pendidikan dan memberikan pelatihan berbasis
kesetaraan kebutuhan potensi individu.
Setelah
menelaah hasil pemetaan kapabilitas, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan berbasis potensi individu.
Secara substansi bahwa manusia itu berkembang berdasarkan potensi yang dimiliki
meskipun dalam perjalanannya banyak faktor yang mempengaruhinya. Pada keadaan
guru yang berada pada kondisi deadwoodmencerminkan ketidakacuhan
dan tidak memiliki minat untuk mengembangkan diri, maka pembinaan awal
dilaksanakan melalui pendidikan dan latihan yang diarahkan kepada
kesadaran dalam menumbuhkan nilai-nilai yang menjadi daya dorong (kekuatan)
untuk berkembang, seperti: menumbuhkan nilai ketangguhan, kekuatan, integritas,
keinginan untuk berprestasi dan diimbangi dengan pemberian motivasi serta
pemberian penghargaan. Untuk kondisi guru yang menyadari akan kompetensinya
masih rendah tetapi ada keinginan untuk berlatih dan mengembangkan diri, maka
kepada mereka diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan yang
diarahkan kepada pengembangan kemampuan dalam rangka mengembangan keterampilan
berbasis tugas. Bagi guru yang memiliki kesadaran akan kekuatan kompetensinya
dan juga selalu merasa butuh untuk mengembangkan diri, maka keadaan guru
seperti ini diberi kesempatan untuk menambah wawasan melalui kegiatan
pendidikan dan latihan, workshop dan diberikan tugas-tugas yang menantang dalam
upaya memperlihatkan kemampuan yang dimiliki. Guru yang tidak menyadari
akan kekuatan kompetensinya, maka kepada mereka diberikan pendidikan dan
latihan yang diarahkan kepada pemberian wawasannya mengenai berbagai
pengetahuan, sehingga jelas visi ke depan, apa yang seharusnya dilakukan.
Langkah
keempat: Memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait dalam membangun SDM
Pendidikan profesional
Strategi
mengembangkan SDM pendidikan dipengaruhi oleh faktor sistem kemanusiaan itu
sendiri, sistem kebijakan dan sistem teknologi struktural, ketiga faktor
tersebut saling terkait dan berpadu pada satu irisan yaitu pengembangan sumber
daya manusia yang pada intinya adalah pengembangan organisasi atau sebaliknya
pengembangan organisasi secara substansi adalah pengembangan SDM yang ada di
dalamnya.
Sistem
kemanusiaan merupakan suatu sistem yang mamandang manusia dalam hal ini guru
yang memiliki keterampilan, nilai-nilai, pengetahuan dan kemampuan, guru dalam
hal ini harus memiliki keterampilan mengajar termasuk di dalamnya
keterampilan dalam menyusun rencana pembelajaran, menggunakan metode
mengajar, menggali sumber belajar, serta keterampilan mengevaluasi. guru harus
memiliki nilai yang melekat di dalam dirinya yang diaplikasikan di dalam
melaksanakan tugas-tugasnya, seperti nilai kejujuran, objektifitas, tanggung
jawab dan cinta terhadap anak-anak didiknya. Guru harus memiliki pengetahuan
yang terkait dengan ilmu kependidikan dan keahliannya. Kompeternsi yang harus
dimiliki oleh guru sesuai UU No.14 Tahun 2005 meliputi: kompetensi kepribadian,
sosial, paedagogi dan kompetensi profesional. Dalam implementasinya
diatur dalam Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi
akademik dan kompetensi guru. Dalam permendiknas tersebut dijelaskan
secara rinci tentang kualifikasi dan kompetensi guru untuk masing-masing
jenjang dan bidang studi (kompetensi profesional).
Sistem
kebijakan merupakan suatu sistem regulasi yang berlaku pada sebuah lembaga yang
meliputi sistem komunikasi, penghargaan, pengembangan karir dan ekonomi. Sistem
komunikasi merupakan sebuah sistem yang dibangun untuk memperlancar segala
kegiatan sehingg jelas arah kegiatan. Sistem komunikasi pada pengembangan SDM
guru pada sistem pemerintahan otonomi daerah, secara vertikal
dimulai dari sekolah, ke tingkat kota atau kabupaten sampai ke tingkat
provinsi. Secara horizontal pengembangan guru ada di organisasi Kelompok Kerja
Guru, Musyawarah Guru Bidang Studi atau ikatan profesi lainnya. Penghargaan dan
pengembangan guru berjalan selaras dengan kenaikan pangkat dan secara ekonomi
berkait pula dengan tunjangan yang diberikan, seperti tunjangan jabatan,
tunjangan profesi dan tunjangan lainnya.
Sistem
teknologi struktural meliputi sistem teknologi dan informasi, desain pekerjaan
dan struktur organisasi. Ketiga hal tersebut merupakan penunjang dalam
pengembangan SDM professional. Guru harus mampu mengadopsi sistem informasi dan
teknologi. Selain itu job desain dan struktur tugas harus dibuat
sedemikian rupa sehingga ada kejelasan arah bagi guru dalam mengembangkan diri.
Di sisi lain, guru pun harus mampu mentransformasi nilai-nilai tersebut dalam
menjalankan tugas profesinya. Berkenaan dengan desain dan
struktur tugas yang harus dilaksanakan yang terdiri pengembangan tugas
yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran, kegiatan membimbing siswa,
kegiatan mengevaluasi hasil pembelajaran serta hal yang terkait dengan tugas
tambahan, seperti menjabat sebagai kepala sekolah. Beban tugas kerja guru
minimla 24 jam tatap muka perminggu dan maksimal 40 jam perminggu.
III.
PENUTUP
Strategi
kepemimpinan dalam mengembangkan SDM pendidikan profesional dalam hal ini
difokuskan kepada pengembangan guru, langkah pertama, mengidentififikasi sumber
daya manusia, yang dilihat motivasi dan kemampuan guru dalam melaksanakan
tugas. Langkah kedua memetakan kemampuan guru yang dilihat dari kesadaran guru
akan kekuatan dan kelemahan kompetensi yang dimiliki, langkah ketiga
menganalisis kebutuhan akan pelatihan guru berbasis potensi yang dimilikinya.
Langkah keempat memperhatikan faktor-faktor yang terkait dalam
pengembangan guru. Baik faktor sistem kemanusiaan itu sendiri, sistem
kebijakan dan sistem teknologi struktural. Pada akhirnya strategi
kepemimpinan dalam mengembangkan guru professional dilaksanakan sesuai dengan
karakteristik dan potensi individu.
REFERENSI:
Atmosoeprapto, Kisdarto. Produktivitas Aktualisasi Budaya Perusahaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2001. Covey, Stephen R. The Seven Habits of Highly Effective People. Simon and Schuster, New York, USA. 1990. Erry Riyana, Hardja Pamekas, Esensi Kepemimpinan Mewujudkan Visi menjadi Aksi, Indonesia: Elex Media Komputindo, 2000. Hersey, P. & Blanchard. Management of Organizational Behavior. New Jersey: Prentice Hall, Inc. 1993. Ivancevich, John M. Human Resource Management. New York: McGraw–Hill, Inc, 2007. Keith Davis. Human Organizational at Work. New York: McGraw–Hill, Inc, 1985. Koontz, O’Donnell, Weirich. Management. Tokyo: McGraw–Hill, Kogusha, 1980. Kotter, John. P. Leadership Factor. New York: Free Press, 1988. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Raflis. Soetjipto. Profesi Keguruan. Depdikbud, 1994. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2000. Werther, William B and Keith Davis. Human Resources and Personnel Management. USA: McGraw–Hill, Inc, 1996.
Subscribe to:
Posts (Atom)